Oleh : Vinka
Refiyana Detty dan Rona Hawa Kamilah
Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
PDU ALPHA 2014
Apa
yang muncul di benak kalian ketika mendengar “AFTA 2015” ? Sebagaian besar dari
anda berpikir bahwa AFTA 2015 hanya
mengedepankan sektor ekonomi dalam perdagangan bebas ASEAN. Perlu anda ketahui
bahwa AFTA 2015 membawa sektor yang lebih luas, salah satunya meliputi sektor
kesehatan. Perlu diingat bahwa kerjasama AFTA ini bukan hanya berlaku untuk
negara–negara ASEAN saja, tetapi negara-negara yang ikut menandatangani
perjanjian bilateral tentang AFTA 2015 seperti China, Jepang, Korea Selatan,
India, Australia dan Selandia Baru ikut di dalamnya. Dengan diberlakukannya
AFTA, secara langsung para tenaga kesehatan, khususnya dokter dari
negara-negara yang ikut berpartisipasi dapat dengan mudahnya menjalankan
profesi mereka, bukan hanya di negara asal mereka. Siapkah tenaga kesehatan
Indonesia untuk hal itu?
Persaingan adalah kata yang tidak
dapat dihindari ketika gelombang AFTA 2015 mulai menyapa. AFTA seperti pisau
bermata dua, yang mampu membawa sebuah negara semakin berkembang atau tenggelam
dalam putaran persaingan di dalamnya. Jika Indonesia tidak urgensi dalam
menyiasati persaingan bebas khususnya dalam dunia kesehatan, maka para dokter
Indonesis tidak akan mampu bertahan di tanahnya sendiri, apalagi untuk bersaing
di negeri orang. Akhirnya, tenaga kesehatan di Indonesia akan semakin “bobrok”
karena kehilangan kualitas dalam melayani.
Lalu muncul pertanyaan, apa yang
harus dilakukan agar kita sebagai dokter Indonesia tidak kalah bersaing dengan
dokter-dokter luar . Kita tahu bahwa, presentase masyarakat Indonesia yang
berobat keluar negeri setiap tahunnya terus meningkat,contohnya 44% atau
sekitar 11.000 orang dari Indonesia setiap tahunnya berobat ke Singapura. Ini
menjadi bukti bahwa dokter-dokter luar memiliki kelebihan-kelebihan yang mampu
menarik minat berobat para pasien. Untuk itu kita perlu mengasah 3 komponen
utama dalam mengahadapi AFTA 2015 sebagai seorang dokter, yaitu Skill, Knowledge, dan Attitude.
Skill
Setiap
lulusan dokter di Indonesia, pastinya telah memiliki kemampuan dasar yang
mereka dapatkan semasa pendidikan pre-klinis dan klinis. Untuk mampu bersaing
dalam persaingan bebas ini, dokter harus mampu mengembangkan kemampuan mereka,
karena mereka bukan hanya menghadapi pesaing dari negara-negara seberang tetapi
juga akan menghadapi pasien-pasien yang jauh lebih kritis. Untuk itu skill
klinis dan juga skill di bidang komunikasi seorang dokter haruslah sangat
mumpuni.
Selain
itu dokter-dokter internship harus mau
untuk bergerak dan berbagi di daerah terpencil, guna menguasai pasar kesehatan
di Indonesia. Di Indonesia jumlah dan
persebaran tenaga medis masih sangat kurang. Ini terbukti
dari data yang disajikan diagram. Belum
lagi persebaran yang sebagian besar tersentral di pulau Jawa. Mengapa kita
perlu menguasai pasar, karena jika kita telah menguasai pasar kesehatan di
Indonesia, kita tidak perlu takut kalah pamor dengan dokter luar, terlebih lagi
dokter luar pasti tidak akan mampu mengakar sampai ke daerah terpencil, maka
untuk memaksimalkan luasnya peluang kerja dokter Indonesia, mereka harus mau
berbagi ke daerah – daerah, tentunya dengan diiringi oleh skill yang
berkompeten dan berkualitas.
Skill
klinis harus di kedapankan untuk menunjukkan integritas kualitas dokter
Indonesia yang tidak kalah hebatnya dengan dokter luar, caranya adalah dengan
meningkatkan pengalaman klinis. Seorang dokter harus banyak menangani kasus
yang bervariatif, bukan hanya dalam skala penyakit ringan, tetapi juga
penyakit-penyakit yang membutuhkan penanganan ekstra walaupun dokter tersebut
tidak memiliki kapasitas yang lebih layaknya dokter spesialis.
Selain
kemampuan klinis, kita juga harus meninngkatkan kemampuan komunikasi
dokter-pasien sehingga tidak terjadi multitafsir antar subjek, apalagi pasien
kita nanti tidak hanya berasal dari Indonesia. Setidaknya, lulusan dokter
minimal harus menguasai satu bahasa asing terutama bahasa Inggris.
Knowledge
Kurangnya tenaga medis profesional terlihat dari kasus yang di tangani
oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) bahwa dari tahun
2006 hingga 2012, tercatat ada 182 kasus kelalaian medis atau malpraktek. Dari
182 kasus malpraktek di seluruh Indonesia itu sebanyak 60 kasus dilakukan
dokter umum, 49 kasus dilakukan dokter bedah, 33 kasus oleh dokter kandungan
dan 16 kasus dilakukan dokter spesialis anak. Bahkan menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah, ada 6 dokter
yang diwajibkan mengenyam pendidikan ulang.
Banyak
sekali kasus malpraktik dalam dunia kesehatan Indonesia yang turut mendukung
pengurangan tingkat kepercayaan pasien terhadap dokter dalam negeri. Akibatnya,
bukannya tidak mungkin bahwa pasien Indonesia memilih untuk berobat ke luar
negeri. Salah satu dari banyak faktor terjadinya malpraktik adalah kurang
luasnya pengetahuan seorang dokter sehingga salah dalam menentukan diagnosis
dan akhirnya melakukan penanganan yang kurang tepat terhadap diri pasien.
Inilah yang menjadi salah satu kekurangan dokter Indonesia untuk bersaing lebih
dengan dokter-dokter diluar negeri.
Untuk
mengembalikan kepercayaan pasien, kita tentunya harus berusaha memperbaiki dan
memperluas pengetahuan kita sebagai seorang dokter dengan cara meningkatkan
pembelajaran teori dan praktik semasa perkuliahan. Tetapi kita juga harus
menanamkan prinsip bahwa yang kita kejar selama perkuliahan bukan semata-mata
berorientasi pada nilai akademis, karena di dunia profesi yang sesungguhnya
dosen kita adalah pasien kita sendiri.
Attitude
Seorang
dokter tidak hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang
memadai, tetapi dibutuhkan juga dokter yang mampu “hadir” untuk pasien secara
fisik, emosi, dan mental. Pasien bukan hanya membutuhkan diagnosis dan resep
dari dokter, melainkan juga membutuhkan seorang dokter yang mampu memunculkan
rasa nyaman pada diri pasien saat berkonsultasi.
Semua
hal ini dapat terwujud dengan melakukan hal-hal kecil seperti bersikap ramah
ketika menyambut pasien, menjadi pendengar yang baik terhadap keluhan pasien,
memaparkan secara jelas semua hal yang harus diketahui pasien, dan lain lain.
Dengan melakukan hal-hal kecil tersebut, pasien bukannya tidak mungkin untuk
menaruh rasa nyaman dan percaya pada dokter Indonesia sehingga pasien cenderung
untuk memilih berobat ke dokter dalam negeri.
Ketika
tiga hal tadi telah kita aplikasikan dalam mempersiapkan diri menghadapi AFTA
2015, dapat diyakini kita mampu bersaing dengan negara-negara tetangga baik
untuk bersaing dalam negeri sendiri ataupun bersaing di dalam negeri mereka.
Kita tidak boleh memandang AFTA sebagai suatu tantangan yang tidak mampu
ditaklukkan oleh dokter Indonesia. Mari kita manfaatkan AFTA 2015 sebagai momen
untuk memajukan dunia kesehatan Indonesia dikancah internasional.